Atap Sastra, Catatan, Esai

Kritik Terhadap Telaga Bidadari dan Oheo Berdasarkan Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat

A.Sinopsis
1.Telaga Bidadari
Awang Sukma merupakan pemuda petani dan juga pandai bersuling. Ia sering menangkap burung. Namun ketika suatu ketika hendak berburu, ia malah melihat tujuh bidadari sedang mandi. Kesempatan itu tak diambil sia-sia. Ia mengambil salah satu selendang itu, lalu menyembunyikannya di bumbung.
Satu-persatu bidadari itu pun pergi, hingga tinggallah seorang bidadari yang ketakutan, namun setelah dibujuk oleh Awang Sukma maulah bidadari itu tinggal bersama Awang Sukma yang kemudian menikah dangannya dan melahirkan anak bernama Kumala Sari.
Pada suatu ketika, ketika Awang Sukma tertidur begitu lelapnya. Bidadari bungsu itu melihat ayam hitam yang mematuki permukaan bumbung sehingga padi berhamburan. Kemudian ia menghampiri dan secara tak sengaja melihat selendangnya terselip di bumbung.
Bidadari itupun begitu kecewa dengan Awang Sukma yang telah menipu dirinya begitu lama. Kekecewaan itu membuatnya pergi meninggalkan Awang Sukma untuk kemudian tinggal di kayangan.

2.Oheo
Oheo merupakan seorang pemuda yang kerjaannya bertani. Karena jengkel terhadap burung nuri yang selalu memakan hasil taninya, Oheo berniat menyelidiki keberadaan burung nuri itu. Tapi justru kemudian ia malah mendapatkan 7 bidadari mandi. Pada akhirnya, ia mencuri salah satu selendang bidadari tersebut untuk kemudian menyembunyikannya di ujung kasau.
Satu persatu akhirnya bidadari itu pergi, tersisalah seorang bidadari yang bernama Anawanguluri. Bidadari itu merajuk kepada Oheo, semula Oheo mengatakan tidak tahu mengenai selendang itu. Tapi pada akhirnya Oheo memberi persyaratan kepada bidadari itu untuk mau kawin dengannya.
Hal itu diterima Anawanguluri, tetapi dengan persyaratan pula. Yakni Oheo harus mau membersihkan kotoran anaknya. Hal itupun dipenuhi Oheo. Namun ketika sudah memiliki anak, Oheo mengingkari janjinya dan membuat Anawanguluri sedih dan pada akhirnya ia kembali ke kayangan setelah menemukan kembali selendangnya.
Oheo sedih, kemudian ia memutuskan untuk mencari orang yang mampu membawanya ke kayangan. Akhirnya ada tumbuhan yang bernama Ue-Wei. Tumbuhan itu kemudian membawa Oheo ke kayangan. Sesampainya di kayangan. Ayah Anawanguluri memberi persyaratan kepada Oheo.
Segala persyaratan tersebut dipenuhi Oheo, tentu saja dengan bantuan tumbuhan dan binatang, seperti kunang-kunang dan lain sebagainya. Akhirnya, Oheo dapat hidup kembali dengan Anawanguluri dan anaknya dengan bahagia.

B.Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema dalam cerita rakyat Telaga Bidadari adalah pernikahan manusia dengan seorang bidadari begitupun dengan cerita rakyat Oheo.

2. Latar / Setting
Pada cerita rakyat Telaga Bidadari latar tempat terletak di sebuah telaga yang terletak di desa Pematang Gadung, Kalimantan Selatan. Adapun Oheo memiliki latar telaga yang letaknya tak disebutkan secara rinci, namun karena ini merupakan cerita rakyat Sulawesi Tengah, maka keberadaan telaga tersebut diindikasikan berada di sana. Latar lain yang terdapat pada Oheo adalah hutan, rumah tempat tinggal Oheo serta kayangan.
Untuk latar waktu, Telaga Bidadari berlangsung sore hari, ini terlihat ketika bidadari itu hendak meninggalkan Awang Sukma. Tetapi tidak jelas kapan bidadari turun, karena tidak digambarkan mengenai waktunya, hanya saja diindikasikan hal tersebut tidak terjadi di malam hari, sebab ketika itu Awang Sukma hendak berburu burung. Hal serupa terjadi pada Oheo, latar waktu ketika bidadari mandi di telaga tak jelas kapan. Tetapi diindikasikan tidak terjadi di malam hari, karena saat itu Oheo hendak mencari burung nuri. Adapun latar Oheo yang lain terjadi di siang dan malam hari.
Untuk latar sosialnnya, gambaran masyarakat dalam legenda Telaga Bidadari menggambarkan sebuah masyarakat yang sederhana, dari kelas sosial yang rendah yang rata- rata penduduknya bekerja menjadi petani dan penangkap burung. Demikian pula yang terjadi pada Oheo, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.

3. Alur / Plot
Alur yang digunakan dalam Telaga Bidadari dan Oheo adalah menggunakan alur maju.

4. Penokohan
a. Telaga Bidadari
– Awang Sukma    : Seorang pemuda yang mencuri selendang salah satu bidadari.
– Kumalasari    : Anak dari Awang Sukma dengan salah satu bidadari (putri bungsu).
b. Oheo
– Oheo    : Seorang pemuda yang mencuri selendang salah satu bidadari.
– Anawanguluri    : Bidadari yang dijadikan istri oleh Oheo.

5. Sudut Pandang (Point Of View)
Sudut pandang (point of view) dalam Telaga Bidadari dan Oheo adalah menggunakan objective point of view, yaitu pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti penonton melihat pementasan sandiwara, pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran pelaku. Kita hanya dapat melihat apa yang diperbuat orang lain dan dengan melihat perbuatan orang lain tersebut kita bisa menilai kehidupan jiwanya, kepribadiannya, jalan pikirannya, perasaannya dan sebagainya. Pembaca hanya bisa member penafsiran cerita berdasarkan kejadian, dialog dan perbuatan pelaku- pelakunya.

6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam Telaga Bidadari dan Oheo adalah menggunakan bahasa sederhana yang digunakan kita sehari- hari sehingga kita dengan mudah dapat memahami isi ceritanya.

7. Amanat
Amanat dalam Telaga Bidadari adalah mengajarkan kepada kita bagaimanapun pandainya menyimpan sesuatu yang kurang baik, pada suatu saat akan terbongkar juga, selain itu jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang baik harus dengan cara yang baik pula.
Adapun amanat dalam Oheo adalah jika sudah berjanji agar menepati janji. Karena perbuatan ingkar janji merupakan tindakan tidak terpuji.

C.Analisis Sosiologi Sastra
1.Sosiologi Pengarang
Sebagai sebuah cerita raykat, cerita Telaga Bidadari menyebar dari mulut ke mulut dalam masyarakat untuk kemudian meneladaninya. Sehingga, dalam hal ini Telaga Bidadari tidak mempunyai pengarang. Oleh karena itu, analisis pada sosiologi pengarang ini tidak dapat dilakukan.
Begitu juga yang terjadi pada cerita rakyat yang berasal dari Sulawesi Tengah, Oheo. Cerita rakyat ini tidak berpengarang sebagaimana umumnya cerita rakyat.
2.Sosiologi Karya Sastra
Menurut Wellek dan Warren bahwa sosiologi karya sastra adalah apa yang tersirat dalam cerita dan tujuan cerita tersebut. Dari telaah mendalam mengenai cerita rakyat Telaga Bidadari ini, cerita ini mengandung pesan agar tidak menyimpan kebohongan, karena kebohongan meski telah ditutupi akan terkuak juga pada akhirnya. Ini tercermin dari perilaku Awang Sukma yang menyembunyikan selendang bidadari agar ia dapat menikah dengan bidadari. Pada akhirnya, bidadari itu dapat menemukan selendang itu.
Sedangkan dalam cerita rakyat Oheo. Hal yang dapat dipetik adalah bahwa sinergi antara alam dan manusia sangat diperlukan. Sehingga pada dasarnya, manusia semestinya bersahabat dengan lingkungannya dengan terus menjaga dan melestarikan alam. Ini tentu mengingatkan kita pada kejadian-kejadian bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi. Barangkali, ini disebabkan oleh kita yang tidak bersahabat dengan alam, seperti misalnya dengan polusi, penebangan pohon, penambangan ilegal dan lain sebagainya.
Hal yang menegaskan amanat ini adalah ketika dalam berkali-kali Oheo dibantu oleh tumbuhan dan hewan. Ketika hendak ke kayangan, Oheo dibantu oleh pohon, Ue-Wai. Selanjutnya, ketika hendak menuntaskan persyaratan raja, Oheo dibantu oleh kunang-kunang, tikus, dan lain sebagainya untuk mendapatkan istrinya kembali yang merupakan seorang bidadari bernama Annawanguluri.

3.Sosiologi Sastra
Menurut Wellek dan Warren, sosiologi sastra memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya. Dalam cerita rakyat telaga bidadari ini, pengaruh sosialnya sangat besar. Banyak yang menyakini bahwa kejadian itu benar-benar nyata sehingga ayam hitam yang membuat selendang itu ditemukan bidadari, bahkan tidak ada yang memeliharanya di desa Pematang Gadung tempat telaga itu berada.
Dalam cerita rakyat Oheo, hal ini tidak ditemukan. Hanya saja bila dalam praktiknya saat ini secara umum bahwa di Sulawesi Tengah masih kaya dengan kekayaan alamnya adalah hal yang nyata. Tapi apakah terpengaruh oleh cerita rakyat ini, masih sulit untuk dirumuskan sebab tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.
4.Unsur Sistem Sosial
Unsur sistem sosial yang terdapat dalam cerita rakyat Telaga Bidadari menyangkut sistem kepercayaan, yakni kepercayaan terhadap adanya bidadari serta bagaimana mitos mengenai ayam hitam yang saat ini masih dianut oleh masyarakat setempat.
Sistem yang sama terdapat dalam Oheo, yakni kepercayaan terhadap bidadari dan dewa-dewa yang selanjutnya hewan-hewan dapat berbicara serupa fabel. Tetapi sistem yang cukup menonjol lainnya adalah sistem kekeluargaan, yakni bagaimana Anawanguluri meminta Oheo membersihkan tai anaknya sebagai sebuah perjanjian sebelum menikah. Ini mengindikasikan konsep kesetaraan gender yang dihembuskan lewat sikap Anawanguluri bahwa lelaki juga mesti mengurusi anak.
5.Sistem Nilai dan Ide
Setelah dianalisis, tidak ditemukan sistem nilai dalam Telaga Bidadari. Sedangkan untuk sistem idenya adalah adanya asumsi masyarakat bahwa bidadari-bidadari tersebut merupakan cerita nyata ketika mandi di telaga yang kemudian telaga ini diberi nama Telaga Bidadari juga mengenai ayam hitam yang tidak diperlihara oleh masyarakat setempat.
Sedangkan dalam Oheo, sistem nilai yang ada adalah bahwa lingkungan adalah sesuatu yang mestinya dijaga. Ini tampak dari bagaimana Oheo banyak dibantu oleh tumbuhan dan hewan. Untuk sistem idenya tidak ditemukan dalam cerita rakyat ini.
6.Peralatan Budaya
Dalam Telaga Bidadari, ada beberapa peralatan budaya yang menunjang cerita ini. Yakni pulut, suling, dan bumbung. Pulut adalah bilah-bilah bambu yang telah diberi getah untuk menangkap burung. Sedangkan suling sama halnya dengan seruling, yang merupakan alat musik yang ditiup untuk menciptakan sebuah suara yang harmonis nan merdu. Selanjutnya bumbung adalah tabung dari buluh  bekas memasak lemang. Di sinilah Awang Sukma menyembunyikan selendang bidadarinya. Sedangkan dalam Oheo, hanya ada satu peralatan budaya yakni kasau bambu tempat Oheo menyimpan selendang bidadari milik istrinya, Anawanguluri.

D.Kritik Terhadap Telaga Bidadari dan Oheo Berdasarkan Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat
Telaga Bidadari diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai kisah nyata yang terjadi di masa lampau. Sehingga dengan demikian, kedekatan cerita ini dengan masyarakat sangat erat. Sampai suatu larangan (memelihara ayam hitam) pun menjadi tradisi turun-menurun. Pandangan seperti ini berbanding dengan Oheo, cerita Oheo cendrung fantasi dengan tokoh-tokoh hewan dan tumbuhan yang dapat berbicara. Ini membuat cerita ini jauh dari masyarakat. Sebagai sebuah cerita rakyat, tentu Telaga Bidadari yang lebih baik ketimbang Oheo. Alasannya adalah dekatnya cerita itu dengan kehidupan masyarakat sekitar sehingga cerita tersebut bahkan diyakini sebagai suatu hal yang nyata dan pernah terjadi. Cerita semacam ini biasanya lebih memasyarakat. Ini mirip dengan Tangkuban Perahu di Jawa Barat yang sangat melekat dengan orang sunda.
Secara umum, orang yang berhasil menikahi bidadari adalah seorang petani atau dalam kata lain, orang yang dekat dengan lingkungan atau alam. Yang unik adalah kedua lelaki ini menemukan bidadari setelah ‘diberi petunjuk’ oleh burung. Dalam Oheo, Oheo hendak mengintip burung karena kesal, sedangkan dalam Telaga Bidadari, Awang Sukma hendak memburu burung. Burung seakan menjadi tanda adanya bidadari, yang sama halnya seperti pelangi dalam cerita-cerita Bidadari lainnya.
Yang berbeda adalah ketika Awang Sukma mencuri selendang bidadari lalu menyembunyikannya tanpa diketahui oleh bidadari tersebut. Sehingga, inilah yang menjadi pangkal cerita yang membuat bidadari itu pada akhirnya meninggalkan Awang Sukma karena merasa ditipu. Hal ini berbanding terbalik dengan cerita Oheo. Bidadari tersebut tahu, jika Oheo yang telah menyembunyikan selendang bidadarinya. Namun karena Oheo memintanya untuk menjadi istri, maka bidadari tersebut menerima permintaan Oheo dengan persyaratan jika anaknya buang air besar, maka Oheo-lah yang membersihkannya. Hal inilah yang merupakan pangkal cerita yang membuat bidadari itu pergi meninggalkan Oheo karena kecewa Oheo tidak menepati janji.
Untuk lebih jelasnya perhatikan petikan berikut ini:
Petikan Oheo:
Sambil tetap berendam dalam air karena malu, Anawangguri nama bidadari itu bertanya kepada Oheo. “Apakah engkau melihat pakaianku disini?”
“Tidak,” jawab Oheo.
Anawangguluri semakin sedih. “Tolonglah aku, Oheo. Kasihanilah daku. Kakak-kakakku sudah terbang semua,” tutur Anawangguluri.
Lama-kelamaan Oheo merasa iba kepadanya. “Aku akan memberikan pakaianmu, asal kau mau kawin denganku,” tuturnya.
Anawangguluri menerima permintaan itu. Namun, Anawangguluri minta kepada Oheo, “Bila di kemudian hari kita mempunyai anak, maka kaulah yang membersihkan kotoran anak kita,” tutur Anawangguluri.
Petikan Telaga Bidadari:
Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Dari konflik yang berbeda ini, menghasilkan akhir cerita yang berbeda pula. Layaknya kehidupan nyata. Suatu kebohongan tidak pernah akan diterima dalam hati karena sama saja dengan suatu penghianatan. Inilah yang terjadi pada cerita Telaga Bidadari. Putri Bungsu tak menerima permintaan Awangsukma. Tetapi justru ia hanya memikirkan anaknya Kumalasari yang jika rindu, Awangsukma disurunya melakukan ritual. Seperti terdapat dalam kutipan ini:
“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
Dalam Oheo, justru akhir cerita ini menjadi indah. Karena Oheo pada akhirnya bersatu dengan Anawanguluri. Ini wajar terjadi dalam kenyataan, karena sebuah pengingkaran terhadap janji bila disesali dan bersungguh-sungguh untuk memperbaikinya maka hal ini dapat diampuni. Terlebih, kesungguhan itu terlihat ketika Oheo mampu melewati ujian yang dibebankan ayah Anawanguluri kepadanya. Dalam kehidupan nyata, untuk menyelamatkan pernikahan seringkali orang tua memberi persyaratan kepada menantunya untuk dapat memperbaiki keluarganya. Meski cerita Oheo cendrung fantasi, namun tidak menghilangkan pesan-pesan yang dibawanya. Meski pesan itu dibawanya secara eksplisit atau tersirat, tidak seperti Telaga Bidadari yang menyampaikan pesannya secara implisit dengan penuturan ceritanya yang cendrung realis.
Apa yang terkesan membaca dua cerita bidadari ini adalah bahwa cerita Telaga Bidadari berusaha sedekat mungkin dengan masyarakat dan itu berhasil, namun cerita Oheo seperti jauh meninggalkan masyarakat namun dengan demikian ada semacam variasi cerita bidadari dan cerita ini menjadi menarik. Karena cerita Telaga Bidadari memeliki alur yang sama dengan cerita bidadari lainnya, semisal Jaka Tarub. Sedangkan, Oheo seperti memiliki jati diri sendiri dalam hal alur cerita dan itu menjadi kelebihan bagi cerita ini di tengah kekurangan yang ada.