Catatan

Sebuah Ikatan Makna yang Kritis:ANDAIKAN BUKU ITU BUKAN SEPOTONG PIZZAMELAINKAN SEPOTONG TEMPE!

Sebagaimana Anda menjawab berbagai pertanyaan dengan sebuah realita yang telah Anda alami. Maka dalam kesempatan ini, saya akan mengomentari tulisan Anda yang berjudul Andaikan Buku Sepetong Pizza dengan cara yang sama.

Belum lama ini, rekan saya berkomentar tentang buku yang Anda buat. Komentarnya sih ringan, bahkan terkesan main-main;

“Pizza kan mahal, saya gak suka!”

Saya tersenyum mendapati perkataan teman saya ini. Hampir tidak terpikirkan sama sekali hal ini dalam benak saya. Namun kata ini seakan benar-benar membuat saya tercenung sedikit. Saya pikir ini adalah sebuah idiom untuk menyatakan bahwa buku itu diperuntukan untuk orang-orang yang berduit.

Seperti zaman sebelum Indonsia merdeka, hanya orang-orang tertentu sajalah yang bisa mengecap pendidikan, itupun dengan tujuan agar dapat diperkerjakan di kantor-kantor perwakilan yang selama ini didominasi oleh kaum penjajah.

Hal ini pula yang terjadi pada buku. Buku tidak bisa dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat. Wajar bila kemudian ada istilah yang di bawah tetap di bawah. Bagaimana ia mau ke atas, kalau untuk ke atas saja ia tidak memiliki modal apa-apa?

Buku menjadi barang mewah untuk kalangan tertentu, bahkan karena terlalu mewahnya mereka menganggap buku itu tidak perlu untuk dimiliki sebagaimana mereka memiliki sapi untuk kemudian dijadikan alat untuk membajak sawahnya.

 

Sepotong Tempe Itu Perlu!

Yah, tempe sangat berguna bagi kita. Makanan yang ekonomis dan sangat merakyat ini tidak hanya memiliki rasa yang lezat, akan tetapi memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi karena salah satu bahannya adalah dari kacang kedelai.

Seperti itulah seharusnya buku, buku harus bertindak ekonomis, tidak memberatkan bagi semua kalangan. Terutama kalangan bawah. Hal ini saya dapati sendiri pada kisah di keluarga saya. Saya hanyalah anak seorang petani yang kemudian pensiun karena tanah sawahnya terkena gusur. Kemudian untuk melangsungkan kehidupan keluarganya bapak dari keluarga itu membangun warung. Ya, saya anak dari mereka. Suatu saat saya pulang dari pesantren setelah selama satu tahun saya tidak pulang, kebetulan jarak dari rumah ke pesantren memakan waktu dan uang yang tidak sedikit. Untuk sekali jalan bisa menghabiskan satu hari satu malam dan uang untuk ongkos –saat ini mencapai Rp. 180 ribu untuk sekali jalan.

Ayah saya heran ketika saya pulang tidak hanya membawa kitab kuning dan kitab keagamaan lainnya. Ketika itu saya banyak membawa karya sastra seperti Seno Gumira, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia, Nanden Lilis, Helvy dan beberapa buku kumpulan cerpen. Kebetulan di pesantren saya aktif di bidang sastra dan kajian kontemporer dan pesantren saya mefasilitasi akan hal ini, walaupun tidak semaksimal yang saya harapkan.

Tidak hanya itu, saya memang sebelumnya sudah bertekad untuk membudayakan baca di tengah keluarga saya. Saya membeli koran dari uang pemberian ayah, ayah kembali tercenung. Ia merasa bahwa uang yang saya belikan koran itu hanya sia-sia.

Selang setahun lamanya, saya kembali pulang ke rumah, tentu dengan membawa berbagai karya sastra dan ilmiah yang saya sempat beli dari uang yang saya sisihkan dari uang jajan saya selama sebulan.

Namun apa yang saya dapatkan di rumah, ayah saya tidak lagi kaget. Malah saya kaget dengan keadaan di rumah saya. Kebiasaan membeli koran ternyata terus berjalan selama saya meninggalkan rumah. Dan ayahlah yang paling getol membaca koran itu. Walaupun matanya yang sudah min dan sedikit rabun itu tidak meruntuhkan semangatnya dalam membaca.

Saya sedikit bangga dengan keadaan ini. Ia tidak lagi menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mewah. Atau sesuatu yang biasa dimiliki oleh orang-orang yang berduit. Di sekitar rumah saya, hanya orang yang memiliki rumah bertingkat dan mobil yang terparkir di garasi saja yang langganan koran. Selebihnya tidak.

Paradigma! Acap kali kata ini saya temukan dalam buku yang Anda tulis, walaupun buku-buku itu saya baca dari hasil pinjaman. Namun itu tidak menyurutkan semangat saya untuk membaca. Stephen Covey penulis The 7 Habbits of Highly Effective People tulis Anda suatu waktu dalam buku Andaikan Buku itu sepotong Pizza. Padahal ketika Anda menulis buku itu Anda telah membuat paradigma baru bahwa buku itu Pizza, pizza adalah makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang berduit. Bisa diartikan bahwa buku itu mahal. Kalau mahal hanya orang-orang beruang saja yang bisa memilikinya. Mereka menjadi enggan membaca. Karena seperti saya katakan bahwa Anda memberi paradigma baru: buku itu mahal! Buku itu untuk orang berduit!

Saya tidak mengatakan bahwa paradigma yang Anda tuturkan itu salah atau benar. Saya hanya berusaha untuk mengungkapkan apa yang ada di hati dan di otak teman dan bahkan kebanyakan masyarakat di sekitar saya. Hampir tidak kita temui buku dalam tempat-tempat kumuh, hampir kita tidak temui buku dalam keluarga penarik becak. Kalau saya boleh berkata, hanya orang-orang beruntung saja yang lahir dan kemudian langsung membaca. Itu dikarenakan ia adalah anak seoerang dosen atau para peneliti lainnya yang memang bergumul dalam buku, atau anak orang kaya yang biasa membeli buku atau majalah. Kali ini saya percaya dengan teori Bobi DePorter bahwa teladan dari orang tua perlu untuk anak-anaknya.

 

Andaikan Buku Sepotong Tempe

Mungkin kalimat “Andaikan Buku Sepoton Tempe” tidak mungkin terjadi selama semua kita masih hidup dengan egoisme dan rasa individualis yang tinggi. Buku bukan lagi dijadikan media transformasi ilmu, melainkan lebih dari itu. Buku adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Makanya tidak heran bila banyak buku bermutu dengan harga mahal atau malah tidak bermutu dan mahal pula. Hal ini ditilik dari segi perusahaan penerbitan.

Sementara dari perpustakaan, perpustakaan sendiri terkadang tidak lagi bersifat umum. Bahkan terkesan untuk kalangan tertentu. Bila kita bandingkan perpustakaan sekolah yang maju dengan yang mereka yang di bawah tentu isi dan pengelolaannya sangat jauh berbeda. Yang lebih parah lagi ada sekolah yang tidak menyediakan perpustakaan. Padahal Daulah Abbasyiah berkembang karena banyaknya perpustakaan yang terbuka luas untuk semua kalangan.

Pizza dan tempe adalah hal yang sama. Sama-sama makanan. Namun memiliki nilai yang lain di mata anak jalanan, pengamen bahkan presiden. Masihkah kita peduli dengan mereka yang suka makan tempe?

Satu tanggapan untuk “Sebuah Ikatan Makna yang Kritis:ANDAIKAN BUKU ITU BUKAN SEPOTONG PIZZAMELAINKAN SEPOTONG TEMPE!”

  1. Andai buku sepotong tempe aku akan memakannya sebanyak-banyaknya seperti aku makan gorengan di kantin. Dan kalaupun buku bukan sepotong tempe, sebenarnya enak untuk dinikmati….
    Cukup realistik, dan menggugah. Saya kira ini adalah sebuah prolog cinta buku yang patut diacungi empat jempol plus kata “GOOD.”

Tinggalkan Balasan ke em-gusti Batalkan balasan